Isu mengenai sampah, diidentikkan dengan sampah plastik, limbah rumah tangga, fashion dan industri pertambangan. Kita lupa satu bidang yang sama-sama memberikan dampak pada lingkungan. Yaitu bidang teknologi digital. Di tahun millennium, perkembangan teknologi dan informasi berkembang pesat, terlebih sejak ditemukannya internet. Tahukah Sobat Laksmi, jika seluruh perkembangan mutakhir itu memerlukan energi yang tak sedikit? Lalu dari mana semua itu berasal, dan apa kaitannya dengan sampah?

Kini, hampir semua orang dari berbagai kalangan sudah menggunakan smartphone atau gawai, dan perangkat keras lainnya. Berdasarkan data dari Kata Data, diperkirakan pada 2025 nanti, pengguna smartphone di Indonesia mencapai 89% populasi. Jadi, bisa dibayangkan ada berapa jumlah perangkat yang terpakai. Nah, dengan smartphone itu, pengguna bisa membuat data, berupa foto, video, dokumen, dan data-data lainnya. Inilah yang akan menjadi sampah digital jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Sama seperti halnya jika kita di kehidupan sehari-hari yang menggunakan banyak barang, seperti membeli pakaian, buku, bahan pangan, yang akan menjadi sampah jika tidak dikelola dengan baik.

M. Isnin Faried dalam artikelnya yang berjudul Mengolah atau Menghilangkan Sampah Digital (2016) di laman Perbanas Institute mengatakan jika file yang dihapus, tidak sepenuhnya hilang, bahkan jika Recycled Bin dibersihkan. File-file itu akan berubah bentuk menjadi byte dan masih berada dalam perangkat. Itulah mengapa, beberapa aplikasi recovery data masih bisa digunakan untuk mencari data yang hilang.

Stephan Schmidt dalam artikelnya yang berjudul A Growing Digital Waste Cloud (2010), mengatakan jika sampah digital telah tumbuh secara eksponensial selama dekade terakhir karena penyimpanan data telah bergeser ke ranah online atau daring. Yang mana, semua data informasi yang terekam itu akan berpindah ke satu awan digital bak komputer yang besar.

Tak hanya itu, setiap aktivitas digital juga akan meninggalkan jejak, yang mana berkaitan dengan pemborosan energi. Melansir dari laman Forbes, melakukan satu pencarian di internet akan menghasilkan emisi sebanyak 0.2 gram karbon. Jika kita mencari 10 kata kunci dalam sehari, maka menghasilkan 2 gram karbon ke atmosfer, kalau dalam satu pekan kita mencari 50 kata kunci, emisi karbon yang dihasilkan setara dengan menggunakan lampu berdaya 10 watt selama satu jam. Bayangkan jika seluruh penduduk bumi melakukan pencarian di internet dalam sehari, berapa ribu gram karbon yang dihasilkan?

Ilustrasi Digital (Markus Spiske on Unsplash)

Lalu bagaimana cara kita mengatasi masalah sampah digital ini?

  1. Mengurangi Pemakaian Perangkat Elektronik

Mungkin tips ini terdengar ekstrem bagi sebagian orang, mengingat di zaman digital ini, hampir semua kegiatan dilakukan secara daring. Mengurangi bukan berarti menghentikan. Sobat Laksmi bisa tetap menggunakan berbagai perangkat teknologi berbasis digital, tapi dengan lebih bijak. Misalnya, tidak mengunduh aplikasi yang tidak begitu diperlukan, tidak boros perangkat elektronik, dan merawat perangkat elektronik dengan baik sehingga umurnya menjadi lebih lama.

  1. Bijak dalam Menghasilkan Data dan Informasi Digital

Jejak digital itu nyata, dan memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Oleh sebab itu, alangkah baiknya kita menghemat energi dengan bijak dalam menggunakan berbagai fitur digital. Misalnya, tidak mengambil banyak foto yang tak perlu, menghapus email yang sudah tidak diperlukan, juga rajin membersihkan file-file di di perangkat keras dan lunak.

  1. Rutin Melakukan Pembersihan Perangkat

Cara mengatasi masalah sampah digital selanjutnya ialah dengan rajin melakukan pembersihan di perangkat lunak maupun keras. Selain dapat mengurangi sampah digital, cara ini juga baik untuk merawat perangkat keras, sehingga lebih awet.

Isu mengenai sampah digital ini memang belum segencar isu sampah plastik yang nyata ada bentuknya sehingga lebih mudah menunjukkan bukti. Berbeda dengan sampah digital yang bentuknya tidak bisa sentuh secara utuh. Oleh sebab itu, butuh pemahaman kalau segala aktivitas itu memerlukan energi, dan akan menghasilkan sampah. Begitu pula dengan aktivitas digital.

Yuk bijak dalam menggunakan kemudahan digital, karena jejak digital itu nyata dan sama merugikannya dengan sampah, jika tak dikelola dengan baik.

Penulis: Siwi Nur Wakhidah