Dalam buku terbitan Bank Dunia 2018 lalu, yang berjudul What a Waste, menyebutkan pada tahun 2050 diprediksi ada 3.4 miliar ton sampah tiap tahunnya di seluruh penjuru dunia. Dalam kurun waktu kurang dari 35 tahun, produksi sampah dunia mencapai hampir dua kali lipat dari tahun 2018. Tak hanya itu, masih banyak ahli yang memprediksi soal masalah sampah di masa depan, akan terus meningkat dan menimbulkan berbagai masalah baru. Bukan hanya masalah bagi lingkungan saja, tapi juga manusia.
Di Indonesia, jumlah sampah juga mengalami peningkatan. KLHK memperkirakan ada 67.8 juta ton sampah dalam setahun, dan akan meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Dari angka yang hampir menyentuh 70 juta itu, pengelolaannya masih sangat abu-abu. Di tahun 2017, Sustainable Waste Indonesia (SWI) menyebut, baru 7 persen sampah di Indonesia didaur ulang, 69 persennya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan 24 persen dibuang sembarangan yang tentunya mencemari lingkungan.
Sampah/Pexels dari PixabayLalu dari mana sampah-sampah itu berasal?
Keberadaan sampah muncul karena adanya aktivitas di muka bumi, terutama aktivitas manusia yang mengeksploitasi. Dari data KLHK, 60 persen sampah yang dibuang ke TPA, adalah sampah organik. Seperti yang kita tahu, sampah organik berasal dari makhluk hidup, sisa-sisa makanan manusia dan sifatnya mudah terurai. Sayangnya, sampah organik ini bercampur dengan sampah anorganik yang juga dibuang di tempat yang sama, berupa sampah plastik sebesar 14 persen, 9 persen kertas, dan 4.3 persen sampah berbahan metal. Semuanya bercampur dan menggunung, hingga akhirnya sulit terurai, jadi berbau tak sedap dan menimbulkan banyak masalah baru.
Melihat masalah ini, tentu pemerintah tak hanya diam. Pemerintah membuat Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANAS) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, tahun 2017 lalu. Targetnya bukan main, ‘Indonesia Bebas Sampah 2025’, 30 persen pengurangan sampah, dan 70 persen pengelolaan sampah. Selain itu, masih ada banyak program dan kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah satu ini. Misalnya saja TPS 3R dari IBM Direktorat Sanitasi, di tempat ini sampah akan dipilah dan diolah kembali. Tapi, tanpa dukungan penuh dari masyarakat, permasalahan sampah yang semakin mengancam ini, akan sulit diatasi.
Memang mengapa sampah harus diolah?
Sampah yang tidak diolah akan menimbulkan banyak masalah. Bukan cuma banjir, karena membuang sampah ke sungai, tapi jauh lebih fundamental. Sampah yang terkumpul di TPA tanpa dipilah dan diolah, akan meningkatkan gas rumah kaca, menghasilkan metana dan karbondioksida berlebihan yang berujung pada pemanasan global serta perubahan iklim. Belum lagi cairan yang menimbulkan bau busuk dan berbahaya, bernama leachate. Cairan ini bisa meresap ke tanah dan bercampur dengan air. Padahal, tanah dan air adalah unsur penting dalam kehidupan manusia, bersama dengan udara. Bayangkan jika unsur kehidupan itu tercemar, mau jadi apa manusia?
Jadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat dan individu?
Untuk mengatasi masalah sampah ini memang tak mudah. Apalagi jika kita hanya manusia biasa, individu dalam masyarakat yang merasa tidak memiliki kuasa. Tapi tunggu dulu. Kita masih punya kuasa atas diri kita sendiri, dan jangan terlalu pesimis untuk ikut berperan dalam mengatasi masalah ini. Ada sebuah kutipan dari National Geographic edisi April 2020: Perayaan 50 Tahun Hari Bumi, “Aksi individu semata tidak bisa memperbaiki penyakit global. Namun, masing-masing bisa berperan mengurangi masalah lingkungan dan menggunakan lebih banyak energi untuk mencari solusi.”
Kutipan dari Natgeo itu bersumber dari Natural Resources Defense Council (NRDC.ORG), dan diilustrasikan dengan apik oleh Tomi Um. Dalam ilustrasi itu digambarkan, peran apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah lingkungan, salah satunya persoalan sampah. Mulai dari individu sebagai warga negara, hingga ketika berada di berbagai tempat, salah satunya di rumah. Berikut di antaranya:
- Di Rumah
Kita bisa memulai dengan menjadi pemilik hewan ramah lingkungan, dan berhati-hati dengan penggunaan produk kutu berpestisida. Juga, kita bisa meminimalisasi sampah pangan, dengan menghitung bahan serta porsi sehingga semua bisa dikonsumsi, serta pelajari cara menyimpan makanan yang baik. Selain itu, kita juga bisa mulai melakukan pengomposan. Dan, menginsulasi rumah dengan benar dan ganti jendela lama yang berangin dengan jenis yang hemat energi.
Tumpukan Sampah/RitaE dari Pixabay- Di Toko
Mulai dengan menghijaukan kebiasaan mengopi dengan menggunakan filter pod yang dapat dipakai lagi. Juga, cermat dalam membeli tisu rumah dengan mengetahui produk mana saja yang terbuat dari bubuk kayu murni, berkontribusi pada perusakan hutan. Akan lebih baik jika menggunakan handuk, serbet atau lap kain. Dan, pertimbangkan untuk meninggalkan menu daging dalam beberapa kali waktu, atau sepenuhnya untuk mengurangi emisi karbon dan limbah yang dihasilkan oleh peternakan.
- Di Lingkungan Sekitar
Kita bisa membantu dengan menjaga vegetasi komunitas tetap sehat, caranya dengan mengatur proyek penanaman pohon atau pemangkasan tanaman ivasif. Tak ada salahnya juga untuk mulai berkebun, dan menanam tanaman penyerbuk. Juga, dengan mengatur pembersihan sungai atau saluran air lainnya yang ada di sekitar kita.
- Sebagai Warga Negara
Ketahui persyaratan untuk mengirimkan komentar tertulis, saat pemerintah mencari masukan publik tentang tindakan yang sedang dipertimbangkan. Juga, bagikan pengalaman pengomposan, dan membagi ilmu itu kepada orang lain. Salah satunya ikut kampanye #berubahdariruma dengan daftar di laksmi.ordent.xyz/mulai-aksi.
Ditulis oleh Siwi Nur